Tanggung Jawab Negara Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia Di Aceh Pasca Memorandum Of Understanding Helsinki

Skripsi ini membahas tentang Tanggung Jawab Negara terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Aceh Pasca Memorandum of Understanding Helsinki. Pemilihan tema ini dilatarbelakangi oleh adanya konflik di Aceh yang berlangsung selama hampir 30 tahun dan telah menimbulkan berbagai pelanggaran HAM berat di Aceh. Tujuan penelitian dibagi menjadi tiga, pertama, untuk mengetahui dan mengklasifikasikan jenis pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik di Aceh. Kedua, untuk menganalisis dan mengkaji tanggung jawab negara terhadap pelanggaran HAM yang terjadi pada masa konflik di Aceh. Ketiga, untuk menganalisis, mengkaji, dan menemukan permasalahan hukum penerapan MoU Helsinki butir HAM dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh terkait penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh sebagai bentuk tanggung jawab negara. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa terjadi pelanggaran HAM kategori berat, dengan prototipe Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Pasal 7 huruf b UU No. 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM) di Aceh selama tahun 1989-2004. Baik dalam mekanisme internasional maupun nasional, negara harus bertanggung jawab dalam menghormati, melindungi, dan memenuhi hak warga negaranya, hal ini berlaku pula saat terjadi kasus pelanggaran HAM berat di Aceh dalam kerangka NKRI. Lahirnya MoU Helsinki sebagai nota kesepakatan damai dan UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh memberi harapan akan adanya penyelesaian pelanggaran HAM berat di Aceh, yaitu dengan diaturnya ketentuan mengenai pembentukan Pengadilan HAM dan KKR di Aceh. Sayangnya, beberapa pengaturan mengenai Pengadilan HAM dan KKR di Aceh di dalam UUPA sebagai pelaksana MoU Helsinki masih menemukan berbagai permasalahan hukum terkait multitafsir pasal, landasan yang tidak jelas, serta tidak terbentuknya kedua lembaga sesuai tenggat waktu yang ditentukan. Peneliti memberi beberapa saran, yaitu: (1) pemerintah pusat maupun daerah berkomitmen melaksanakan MoU Helsinki dan perlu melakukan evaluasi terkait pengaturan tentang penyelesaian pelanggaran HAM di Aceh, (2) mekanisme pengadilan HAM menurut UU No. 26 tahun 2000 secara nasional dapat diterapkan pula untuk kasus Aceh jika ketentuan MoU Helsinki dan UUPA sulit diterapkan karena kelemahannya, (3) KKR segera dibentuk di Aceh agar kompensasi, penghargaan, penghormatan, dan berbagai kegiatan di dalamnya dapat memenuhi hak-hak dasar korban