Hubungan Negara-Masyarakat Dalam Proses Pembentukan Daerah Otonom (Studi Pada Proses Pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur)

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh maraknya tuntutan pembentukan daerah otonom di Indonesia dewasa ini. Mengingat esensi otonomi daerah tidak sekedar hak daerah memperoleh otonomi, tetapi juga kewajiban daerah melaksanakan otonomi, maka sangat diperlukan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang telah terdesentralisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menganalisis hubungan negaramasyarakat dalam proses pembentukan daerah otonom, dilihat dari aspek latar belakang tuntutan pembentukan, proses pembentukan, dan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Data diperoleh dari wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teknik analisa digunakan model Milles dan huberman melalui langkah pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Penelitian ini menemukan bahwa; pertama, latar belakang tuntutan pembentukan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dipicu oleh upaya lokalisasi kekuasaan untuk menciptakan pusat kekuasaan baru di daerah dan gerakan sosial berbasis etnik. Lokalisasi kekuasaan terlihat pada upaya meningkatkan jumlah institusi politik, birokrasi, serta alokasi anggaran yang bersumber dari Pemerintah Pusat, dan elit lokal yang berperan dalam proses pembentukan selanjutnya menjadi aktor politik lokal pasca daerah ini terbentuk. Sementara gerakan sosial dipicu oleh konflik sosial antara etnis mongondow dan etnis minahasa, gerakan reaksioner masyarakat etnis mongondow untuk kembali pada kejayaan kerajaan Bolaang Mongondow masa lalu, pembandingan dengan pembentukan daerah otonom lain, adanya peluang politik yang dibuka oleh negara. Kedua, pembentukan daerah ini terbagi dalam tiga tahap yakni sosialisasi dan konsolidasi elit, pemekaran desa dan kecamatan, serta pendekatan dan komunikasi politik dengan partai politik dan anggota DPR. Dalam hal keterpenuhan syarat menurut UU 32/2004 dan PP 78/2007, daerah ini telah memenuhi syarat administratif dan teknis kewilayahan namun belum memenuhi syarat teknis. Ketiga, partisipasi masyarakat dilakukan dalam bentuk mengikuti musyawarah, pengumpulan dana dan hibah tanah atau bangunan, serta pemasangan atribut pemekaran. Secara keseluruhan telah ada pertanda partisipasi (tokenism), walaupun belum sampai pada derajat kendali warga. Rekomendasi penelitian ini antara lain; 1) pemerintah perlu menetapkan rasio kapasitas keuangan daerah bagi calon daerah otonom; 2) perlu diperkuat dialogisme antar budaya untuk menghindari konflik sosial; 3) pemerintah perlu melakukan pengendalian internal terhadap pelaksanaan tugas pengujian usulan pembentukan daerah otonom; 4) revitalisasi musyawarah terutama dalam konteks perumusan agenda kebijakan pembentukan daerah otonom