Pemidanaan terhadap Mucikari Didalam Prostitusi Online Berdasarkan Pasal 27 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008: Studi terhadap Putusan Nomor 470/Pid.Sus/2014/Pn.Smn, Putusan Nomor 228/Pid.B/2015/Pn.Pgp, dan Putusan Nomor267/Pid.B/2015/Pn.Pgp

Pada era globalisasi ini, penetrasi internet yang begitu masif apabila tidak dipergunakan dengan bijak maka akan melahirkan kejahatan di dunia maya atau cyber crime (Salah satu contohnya yaitu tindak pidana prostitusi online). Ada 3 (tiga) putusan yang menarik bagi penulis mengenai pemidanaan terhadap prostitusi online yakni: Putusan Pengadilan Negeri Sleman, Yogyakarta dengan Nomor Putusan 470/ Pid.Sus/2014/PN.Smn, Putusan Pengadilan Negeri Pangkalpinang dengan Nomor 228/Pid.B/2015/ PN.Pgp, dan Putusan Pengadilan Negeri Pangkalpinang dengan Nomor 267/Pid.B/2015/ PN.Pgp. Ketiga putusan tersebut akan menjadi bahan analisis bagi penulis bagaimanahakim dalam menjatuhkan pidana yang berbeda-beda (disparitas). Apakah faktor-faktor yang menjadi pertimbangan hakim di dalam menjatuhkan putusan? Yang dimaksut dengan disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang sama (same offence) atau terhadap tindakan-tindakan pidana yang sifat berbahayanya dapat diperbandingkan (offences of comparable seriousness) tanpa dasar pembenaran yang jelas. Disparitas merupakan kebebasan yang diberikan undang-undang kepada hakim untuk memutus perkara. Adakalanya di dalam sebuah Putusan terjadi Disparitas, hal ini terjadi karena kebebasan seorang hakim dalam menjatuhkan putusan yang bersifat subyektif. Di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku termuat adanya batasan minimum dan maksimum hukuman sehingga hal ini mendorong lahirnya disparitas pemidanaan penjatuhan sanksi antara putusan yang satu dengan yang lainnya