KONFLIK RUMAH TUHAN:: PRAKARSA PERDAMAIAN ANTARUMAT BERAGAMA DI INDONESIA

Conflicts related to houses of worship in some regions in Indonesia have indicated a tension between the majority and minority groups. The minority found it difficult to build a house of worship, for the majority opposed it. While an attempt of resolution was initiated by the central and regional government including community elites. However, conflict settlements had not always been successful although it was resolved through legal process and mediation. The conflict of GKI Yasmin in Bogor, for instance, was one example that legal process was not effective to resolve the conflict. Similarly, the conflict of mushalla As-Syafi’iyah in Denpasar was also another case where a mediation process with the involvement of  local leaders also failed. However, a conflict of temple establishment in Tanjung Pinang showed a successful resolution by a mediation involving the religious leaders and the local government elites. This paper suggests that the resolution of conflicts pertinent to the cases of houses of worship depends favorably on the initiatives taken by the local government and the local religious leaders.Konflik rumah ibadah di sejumlah daerah telah memperlihatkan hubungan yang menegangkan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Kelompok minoritas akan selalu mendapatkan penolakan dari kelompok mayoritas disaat pendirian rumah ibadah. Ketika terjadi konflik pendirian rumah ibadah, maka ada upaya penyelesaian konflik yang diprakarsai oleh elit struktural negara dan elit kultural masyarakat. Pemerintah Pusat/Pemerintah Daerah memprakarsai penyelesaian konflik dan tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat juga memprakarsai penyelesaian konflik. Penyelesaian konflik rumah ibadah tidak berada dalam level yang sama. Jalur hukum ternyata tidak selalu mampu menyelesaikan konflik. Begitu pula jalur mediasi juga masih menghadapi tantangan sebagai jalan penyelesaian konflik rumah ibadah. Konflik pendirian GKI Yasmin di Kota Bogor, meski telah diselesaikan dengan jalur hukum ternyata masih belum dapat menjadi solusi konflik. Jalur mediasi dengan pemimpin adat di Kota Denpasar juga ternyata belum mampu menyelesaikan konflik Mushalla As-Syafi’iyah. Sedangkan jalur mediasi dengan pemimpin-pemimpin agama bersama Pemerintah Daerah ternyata mampu menyelesaikan konflik pendirian Vihara di Tanjung Pinang. Penyelesaian konflik rumah ibadah dalam studi menunjukkan sangat tergantung pada prakarsa perdamaian yang dilakukan Pemerintah dan para pemimpin agama di suatu daerah