Watak Sengkuni pada Hari

Narasi besar tentang kebangkrutan eksistensi pertunjukan wayang pada zaman ini terjadi manakala lakon-lakon beranjak dari panggung imajinasi ke kehidupan nyata. Dahulu kala orang menyaksikan pertunjukan wayang kulit dengan antusias karena apa yang mereka saksikan tidak dijumpai di alam kehidupan yang sebenarnya. Menyaksikan kisah cinta yang menyentuh hati, perang yang menyayat nurani, tragedi yang berbuah kesediahan, kelicikan yang memantik amarah diikuti dengan sumpah serapah penonton. Tokoh-Iokoh dalam pertunjukan wayang mampu menginspirasi untuk ditiru, tapi juga dibenci untuk dicaci, Tokoh wayang menjadi sumber inspirasi bagi nama-nama anak di Jawa. Kita kemudian menjumpai nama Partha-Arjuna, Nakula-Sadewa, Bima, Guritno (Gatutkaca), Abimanyu, Yudi(stira), dan lain sebagainya. Tidak satu pun kita jumpai nama anak dengan sosok antagonis seperti Duryudana, Duma, Dursasana, atau bahkan Sengkuni, namun belakangan ini nama Sengkuni begitu gaduh diperbineangkan, terutama dalam limimasa media sosial. Tidak ada sosok yang paling licik dan picik selain Sengkuni. Sengkuni menjadi lakon yang berpendar dari panggnng-panggung pertunjukan wayang menjadi kisab-kisah karakter hidup manusia di alam nyata. Oleh karena itu, kita kemudian terlalu asyik melihat drama-drama sosial yang terjadi di sekitar kita dibanding dengan sanggit wayang dalam panggung pertunjukan. Apa gunanya menonton wayang bila bidup lebih dramatis dibanding lakon pertunjukan yang disajikan? Apa jadinya bila dalam kebidupan nyata terdapat sosok Sengkuni yang lebih culas dibanding tokoh Sengkuni dalam kisah Mahabarata