PENGATURAN PEMBERIAN IZIN TERTULIS OLEH PRESIDEN TERHADAP PEMANGGILAN DAN PERMINTAAN KETERANGAN KEPADA ANGGOTA DPR BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2018 TENTANG MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN RAKYAT, DEWAN PERWAKILAN DAERAH, DAN DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH

Ketentuan mengenai DPR diatur di dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, Undang-Undang ini kemudian direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3) yang disahkan pada tanggal 12 Februari 2018. Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai anggota DPR, dimungkinkan terjadinya pelanggaran-pelanggaran hukum oleh anggota DPR yang membuat mereka harus menjalani pemeriksaan dan proses peradilan. Proses pemeriksaan ini membutuhkan izin presiden sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 245 UU MD3. Setelah berlakunya pasal tersebut, maka muncul norma hukum baru yang memberikan kewenangan baru kepada Presiden untuk ikut serta dalam penegakan hukum di Indonesia, yang menyatakan bahwa aparat penegak hukum harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden dalam melakukan pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana, sehingga kedudukan Presiden disini menjadi lebih penting dan sebagai penentu pula berlanjut atau tidaknya sebuah proses pemanggilan tersebut yang dilakukan oleh anggota DPR. Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dan menggunakan pendekatan konseptual. Dari penelitian yang dilakukan penulis, diketahui bahwa berdasarkan Pasal 245 UU MD3 Presiden memiliki kewenangan dalam memberikan persetujuan tertulis kepada aparat penegak hukum dalam proses penyidikan terhadap anggota DPR. Presiden sebagai kepala pemerintahan merupakan pihak yang paling tepat dalam memberikan persetujuan tertulis karena dibutuhkan lembaga diluar anggota DPR yang mampu memberikan pertimbangan netral agar sesuai dengan mekanisme pemanggilan terhadap anggota lembaga tinggi lainnya