PERAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM PENGUNGKAPAN TINDAK PIDANA KORUPSI (STUDI PUTUSAN NOMOR 32/PID.SUS-TPK/2016/PN.JKT PST JO. NOMOR 48/PID.SUS-TPK/2016/PT.DKI)

Tindak pidana korupsi kerap dilakukan oleh orang yang memiliki kuasa, tidak jarang aparat penegak hukum kewalahan dalam menghadapinya. Oleh sebab itu diperlukan cara yang tepat guna menghadapi hal tersebut, salah satu cara yang terbukti secara efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi adalah dengan cara melibatkan justice collaborator dalam proses peradilan. Namun dalam pelaksanaanya masih terdapat penyimpangan atau diskrepansi yang disebabkan oleh loopholes dari regulasi itu sendiri. Penilitian ini menggunakan metode yurdis normatif serta pendekatan komparatif dan kasus. Putusan No. 32/Pid.Sus-Tpk/2016/Pn.Jkt Pst jo. No. 48/Pid.Sus-Tpk/2016/Pt.Dki digunakan sebagai bahan analisis dalam penelitian hukum ini. Peran justice collaborator dalam membantu aparat penegak hukum khususnya pada tindak pidana korupsi sudah baik, hal tersebut membuktikan bahwa justice collaborator memang dibutuhkan dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Namun, tidak semua orang dapat menjadi justice collaborator tentu ada syarat yang harus dipenuhi, salah satunya bukan merupakan pelaku utama dalam tindak pidana yang dilakukannya. Seperti halnya pada kasus yang digunakan dalam penelitian hukum ini, Pengadilan Negeri memberikan putusan yang cukup berat dengan pertimbangan menolak status justice collaborator yang telah diberikan terhadap terdakwa karena majelis hakim berpandangan terdakwa merupakan pelaku utama. Walapun pada akhirnya Pengadilan Tinggi memiliki penafsiran yang berbeda. Kata Kunci: justice collaborator, pelaku utama, suap, korups